CitraHukum.com – Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Namun, masih banyak pelaku UMKM bingung soal kewajiban mereka terhadap pekerja, terutama terkait pengupahan, jam kerja, hingga jaminan sosial. Apakah UMKM wajib mematuhi semua ketentuan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan? Jawabannya: tidak sepenuhnya.
Dasar Hukum yang Mengatur UMKM
UMKM secara hukum diatur dalam:
UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan turunannya
PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan
PP No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja, dan Waktu Istirahat
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (sebagian masih berlaku, kecuali yang telah dicabut/diubah oleh UU Cipta Kerja)
UMKM Memiliki Perlakuan Khusus
Pasal 90B UU No. 13 Tahun 2003 (yang ditambahkan lewat UU Cipta Kerja), berbunyi:
"Dalam hal tertentu, pengusaha dapat membayar upah di bawah upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1), yaitu usaha mikro dan kecil."
Kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam PP No. 36 Tahun 2021 Pasal 36, bahwa UMK (Usaha Mikro dan Kecil) diperbolehkan membayar upah di bawah upah minimum, dengan dua syarat:
1. Kesepakatan antara pekerja dan pengusaha secara tertulis.
2. Besaran upah sekurang-kurangnya 50% dari rata-rata konsumsi masyarakat provinsi dan tidak kurang dari 25% di atas garis kemiskinan daerah.
Artinya, UMKM tidak wajib mengikuti ketentuan UMP/UMK seperti perusahaan besar, asalkan memenuhi syarat tersebut.
Jam Kerja dan Waktu Istirahat Juga Lebih Fleksibel
Dalam PP No. 35 Tahun 2021, jam kerja pada umumnya adalah:
7 jam per hari dan 40 jam per minggu (6 hari kerja)
8 jam per hari dan 40 jam per minggu (5 hari kerja)
Namun, dalam praktiknya, UMKM diberi kelonggaran dengan prinsip "sesuai kemampuan dan proporsionalitas usaha." Hal ini merujuk pada Pasal 4 huruf c UU No. 20 Tahun 2008:
“Pemberdayaan UMKM dilakukan melalui penyediaan iklim usaha yang kondusif.”
Dan juga ditegaskan dalam penjelasan Pasal 81 UU Cipta Kerja, yang menekankan fleksibilitas hubungan kerja di UMKM, sepanjang tidak melanggar hak-hak dasar pekerja.
Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Menurut PP No. 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM, UMKM didorong untuk mendaftarkan pekerjanya ke BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan, bukan diwajibkan secara mutlak. Ini mengingat keterbatasan kemampuan finansial pelaku usaha mikro dan kecil.
Namun, jika usahanya sudah masuk kategori menengah, maka kewajiban mengikuti standar ketenagakerjaan termasuk jaminan sosial mulai diberlakukan.
Prinsip Proporsional dan Musyawarah
UMKM dapat menjalin hubungan kerja secara musyawarah dan kekeluargaan, sesuai prinsip hukum perdata dan asas kebebasan berkontrak. Hal ini tidak bertentangan dengan hukum, selama tidak melanggar hak dasar pekerja.
Pasal 1338 KUH Perdata:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Kesimpulan: Perlindungan Tetap Ada, Tapi Disesuaikan
UMKM tidak sepenuhnya terikat pada aturan ketenagakerjaan yang kaku seperti perusahaan besar. Namun tetap harus menghargai:
Hak dasar pekerja (gaji layak, tidak eksploitasi)
Kesepakatan tertulis sebagai bentuk perlindungan hukum
Prinsip kemanusiaan dan proporsionalitas usaha
Kelonggaran ini menjadi upaya negara untuk mendukung tumbuhnya UMKM tanpa mengabaikan aspek keadilan bagi pekerja.
Catatan Redaksi: Artikel ini ditujukan sebagai edukasi hukum berbasis regulasi terbaru yang berlaku. Jika Anda pelaku UMKM dan ingin memastikan kepatuhan hukum usaha Anda, disarankan berkonsultasi langsung dengan pendamping hukum atau LBH setempat.