Judul: BUMDes Pringsewu: Mesin Uang Desa yang Dibiarkan Berkarat

Judul: BUMDes Pringsewu: Mesin Uang Desa yang Dibiarkan Berkarat

Citra hukum
Jumat, 11 April 2025


Oleh: Surohman S.H

BUMDes—tiga huruf yang seharusnya menjadi tumpuan ekonomi desa, kini di banyak tempat justru menjelma menjadi simbol kegagalan. Di atas kertas tampak ideal: wadah usaha desa, penggerak ekonomi lokal, penyumbang Pendapatan Asli Desa (PAD). Tapi di lapangan? Yang terlihat justru kesemrawutan, ketidakefisienan, dan—tak jarang—akal-akalan.

Pringsewu: Potensi Besar yang Dikerdilkan

Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung, memiliki 126 BUMDes dan 3 BUMDesma. Tapi dari jumlah itu, hanya 9 yang masuk kategori “Maju”, sisanya? Setengah jalan—61 “Berkembang”, 16 “Pemula”, dan 40 “Perintis”. Ironisnya, hanya 49 yang berbadan hukum. Apa yang dikerjakan ratusan desa selama ini? Membentuk tanpa membangun, mencatat tanpa menjalankan.

BUMDes seharusnya menjadi “jantung ekonomi desa”, tapi banyak yang bahkan tak berdetak. Tak sedikit yang hanya sekadar papan nama, dokumen, dan laporan yang terlihat manis di atas meja, namun nihil kontribusi nyata. Ada pula yang mengklaim usaha milik warga sebagai "unit usaha BUMDes" hanya demi terlihat aktif. Ini bukan inovasi, ini manipulasi administrasi.

Padahal keberadaan dan fungsi BUMDes bukan sekadar program, melainkan kewajiban hukum yang ditegaskan dalam:

UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pasal 87 ayat (1):
"Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan."

Permendesa PDTT No. 3 Tahun 2021, Pasal 3:
BUMDes wajib memberikan manfaat ekonomi bagi Desa, peningkatan Pendapatan Asli Desa (PAD), dan pendapatan masyarakat Desa.

Permendagri No. 20 Tahun 2018, Pasal 4 huruf (e):
BUMDes diharapkan menjadi sumber pendapatan berkelanjutan desa yang dapat dikelola secara profesional dan akuntabel.

Artinya, BUMDes bukan sekadar opsional, tetapi instrumen legal yang seharusnya menghasilkan PAD dan memperkuat ekonomi desa. Maka ketika BUMDes stagnan, fiktif, bahkan mati total, maka itu bukan hanya kegagalan teknis—tapi pelanggaran terhadap semangat undang-undang.

Kita tidak sedang mengada-ada. Ini bukan serangan personal, melainkan jeritan fakta di lapangan. Banyak BUMDes yang dibiayai oleh dana desa ratusan juta rupiah, namun tak menghasilkan apapun selain laporan tahunan. Masyarakat hanya dijadikan penonton—bahkan sering kali tidak tahu BUMDes desanya bergerak di bidang apa.

Parahnya lagi, jabatan pengelola BUMDes kerap menjadi “jatah kekuasaan” bukan tanggung jawab profesional. Kualitas SDM terabaikan, audit internal lemah, dan ketika ada masalah, semua saling diam. Maka jangan heran jika sebagian masyarakat menilai BUMDes sebagai “proyek politik terselubung”, bukan badan usaha sungguhan.

Sudah waktunya Pemerintah Kabupaten Pringsewu bersama dinas terkait melakukan evaluasi menyeluruh. Lakukan audit terbuka, aktifkan pengawasan partisipatif, dan bekukan BUMDes yang tidak aktif lebih dari dua tahun. Jangan biarkan uang rakyat menguap untuk lembaga yang hanya hidup dalam laporan.

BUMDes bisa menjadi mesin PAD yang dahsyat, tapi hanya jika dikelola dengan integritas, bukan kepentingan. Jika tidak sanggup memperbaiki, lebih baik dibubarkan daripada terus-menerus menjadi lubang hitam anggaran.
(Surohman S.H)


---

Disclaimer:
Tulisan ini merupakan opini berbasis data dan undang-undang yang berlaku. Tidak ditujukan untuk menyerang individu atau kelompok tertentu, melainkan bentuk keprihatinan dan seruan agar pengelolaan dana desa dan BUMDes lebih transparan, akuntabel, serta berpihak pada kesejahteraan masyarakat desa.