Oleh: Surohman S.H
Di tengah kehidupan masyarakat kecil yang semakin terhimpit oleh kebutuhan dan minimnya akses permodalan, menjamur koperasi simpan pinjam. Tapi celakanya, banyak dari koperasi ini hanya nama—label indah yang menutupi wajah kelam praktik rentenir. Mereka meminjamkan uang dengan bunga mencekik, sistem penagihan yang intimidatif, serta penyitaan jaminan tanpa etika. Ini bukan koperasi. Ini rentenir yang memakai jas hukum.
Korban utamanya adalah rakyat kecil: pedagang keliling, buruh harian, petani, nelayan, dan ibu rumah tangga. Orang-orang yang tak punya akses ke bank, tak ada pilihan lain. Mereka berutang bukan karena ingin, tetapi karena butuh. Namun ketika niat mencari solusi berubah jadi malapetaka, di mana negara?
Fenomena ini terjadi di banyak wilayah Indonesia, dari desa-desa terpencil hingga kota besar. Lembaga-lembaga pembiayaan ini memakai nama koperasi, tapi operasinya menyalahi prinsip-prinsip dasar koperasi.
Ini bukan fenomena baru. Bertahun-tahun praktik ini terus berlangsung, dan entah mengapa, terus bertahan. Berbagai laporan sudah muncul. Bahkan ada korban yang kehilangan rumah, sawah, harta benda, hingga mengungsi dari kampung sendiri. Namun tindakan hukum? Nihil atau nyaris tak terdengar.
Karena koperasi telah dibajak. Tujuan mulia koperasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan anggota dan masyarakat, berdasarkan asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi, kini diputarbalikkan. Koperasi seharusnya menjunjung nilai kebersamaan, kemandirian, keadilan, dan keterbukaan. Tapi dalam praktiknya, banyak koperasi abal-abal berubah menjadi instrumen pemerasan berkedok legalitas.
Sudah saatnya Aparat Penegak Hukum (APH) bergerak tegas. Jangan hanya tunggu laporan. Lakukan investigasi proaktif. Audit koperasi bermasalah. Telusuri laporan keuangan mereka. Cek bunga pinjaman, periksa cara penarikan jaminan, dan tengok siapa sebenarnya di balik badan hukum koperasi itu. Jangan biarkan rakyat kecil terus dimangsa oleh predator ekonomi yang berlindung di balik legalitas palsu.
Di mana jargon supremasi hukum yang digembar-gemborkan?
Supremasi hukum bukan hanya soal politik dan kekuasaan. Supremasi hukum juga seharusnya hadir untuk melindungi rakyat kecil dari jerat pinjaman yang menindas. Jika hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka kita tak sedang hidup dalam negara hukum, tapi negara yang membiarkan keadilan dijual oleh mereka yang paling rakus.
Penutup:
Jangan salahkan rakyat jika suatu hari mereka kehilangan kepercayaan pada sistem. Mereka sudah berteriak, tapi telinga negara terlalu sibuk mendengar yang punya kuasa. Wahai APH, cobalah turun langsung. Lihat ke lapangan. Dengarkan suara korban. Koperasi bukan alat untuk memperkaya segelintir orang. Ia adalah instrumen ekonomi kerakyatan. Jika tujuan mulianya dikhianati, maka kita semua sedang membiarkan kejahatan bertumbuh di balik legalitas.
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan opini jurnalistik yang disusun berdasarkan pengamatan dan fakta sosial yang berkembang di masyarakat. Opini ini bertujuan sebagai bentuk kontrol sosial terhadap praktik koperasi yang dinilai menyimpang dari prinsip dasar dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tulisan ini tidak bermaksud menyudutkan pihak atau lembaga tertentu secara personal, serta disampaikan dalam semangat membangun demi perlindungan terhadap masyarakat dan penegakan hukum yang adil.