May Day 2025, Saatnya Buruh Bangkit Melawan Politik Upah Murah dan Represi Demokrasi

May Day 2025, Saatnya Buruh Bangkit Melawan Politik Upah Murah dan Represi Demokrasi

Citra hukum
Minggu, 20 April 2025


Citrahukum.com| Bandar Lampung – Hari Buruh Internasional bukan sekadar hari libur. Ia adalah simbol perlawanan, suara keras dari jutaan buruh di seluruh dunia yang menolak ketidakadilan dan eksploitasi. Sejak perjuangan di Haymarket, Chicago, tahun 1886 yang menuntut jam kerja manusiawi, 1 Mei menjadi tonggak sejarah perjuangan kelas pekerja dunia.

Di Indonesia, sejarah itu berakar kuat. Dari zaman kolonial hingga Orde Baru, buruh menjadi tulang punggung pembangunan, sering kali dalam posisi tersisih. Dari tekanan dan pengorbanan lahir capaian penting seperti hak berserikat, jaminan sosial, Tunjangan Hari Raya, hingga cuti melahirkan. Semua itu diraih lewat aksi massa, pemogokan, dan solidaritas yang tak pernah padam.

Namun, semangat itu kembali diuji pada tahun 2025.
Federasi Pergerakan Serikat Buruh Indonesia (FPSBI) bersama Konfederasi Serikat Nasional (KSN) menyampaikan catatan kritis terhadap situasi ketenagakerjaan yang dinilai memburuk. Dalam pernyataannya, mereka menyebut bahwa negara cenderung lebih berpihak kepada kepentingan segelintir elite dan pengusaha, daripada memperjuangkan kesejahteraan buruh.

Menurut FPSBI-KSN, penerapan PP No. 51/2023 sebagai dasar penetapan UMP 2024 menunjukkan bahwa kebutuhan hidup layak tidak lagi menjadi indikator utama dalam menetapkan upah. Kenaikan upah sebesar 6,5% di awal 2025, disertai dengan tambahan beban seperti iuran Tapera 2,5%, kenaikan PPN 12%, serta potongan BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan, dinilai membuat buruh tidak benar-benar merasakan peningkatan kesejahteraan.

"Negara seharusnya menetapkan standar nasional soal upah buruh. Kalau pegawai negeri, tentara, dan polisi bisa, mengapa buruh tidak?" ujar Ketua Umum FPSBI-KSN, Yohanes Joko Purwanto, S.H., dalam peringatan May Day 2025.

Selain soal upah, FPSBI-KSN juga menyoroti praktik kerja kontrak dan outsourcing yang dianggap sebagai bentuk eksploitasi baru. Banyak buruh yang bekerja bertahun-tahun di posisi inti perusahaan, namun tetap berstatus kontrak tanpa perlindungan hak-hak dasar sebagai pekerja tetap.

Tindakan pemberangusan serikat atau union busting disebut masih marak terjadi. Beberapa pengurus serikat mengalami PHK, mutasi sepihak, atau menghadapi pembentukan serikat tandingan oleh perusahaan. FPSBI-KSN menilai lemahnya pengawasan pemerintah memperburuk situasi ini.

Kondisi tersebut tercermin juga di Provinsi Lampung. Upah minimum masih jauh dari kebutuhan hidup layak, sementara harga kebutuhan pokok terus merangkak naik. Buruh di sektor industri dan konstruksi menghadapi risiko kerja tinggi tanpa perlindungan memadai, sementara penegakan hukum terhadap pelanggaran ketenagakerjaan dinilai lemah.

Di sisi lain, tingginya angka pengangguran memperburuk tekanan sosial-ekonomi. Minimnya peluang kerja dan rendahnya variasi lapangan kerja, terutama bagi generasi muda, menjadi tantangan besar di daerah ini.

Tahun 2025 disebut sebagai tahun penuh ancaman. Krisis kapitalisme global, ketimpangan ekonomi, dan lonjakan harga memicu instabilitas. Yohanes Joko Purwanto menegaskan bahwa negara cenderung merespons dengan "militerisasi dan pembungkaman ruang demokrasi" ketimbang memperkuat perlindungan sosial, mengacu pada pengesahan UU Cipta Kerja, UU TNI, dan revisi UU Polri.

"Kami tidak hanya ditindas di tempat kerja, tetapi juga dibungkam di ruang publik dan dicabut masa depannya secara sistemik. Ini bentuk penjajahan gaya baru," tegasnya.

FPSBI-KSN menekankan bahwa May Day bukan milik negara, bukan milik pengusaha, dan bukan milik birokrasi. "May Day adalah milik mereka yang bekerja keras, yang ditindas, dan yang bermimpi akan kehidupan yang lebih adil," ujar Yohanes.

May Day 2025, menurut mereka, bukan sekadar seremoni tahunan, tetapi momentum kebangkitan kelas pekerja untuk menolak ketidakadilan yang dilembagakan.

Hingga berita ini diterbitkan, redaksi belum memperoleh tanggapan dari pihak pemerintah maupun asosiasi pengusaha terkait pernyataan-pernyataan tersebut.