Tanggamus: Suara dari Lubuk Hati yang Terluka

Tanggamus: Suara dari Lubuk Hati yang Terluka

Citra hukum
Minggu, 04 Mei 2025


Oleh: Agung Prayoga 

citrahukum.com| Tanggamus, kabupaten yang dianugerahi keindahan alam luar biasa dari pantai hingga pegunungan, dari hijaunya perkebunan hingga sejuknya udara perdesaan. Penduduknya ramah, bersahaja, dan selalu menyambut hangat siapa pun yang datang. Tapi, di balik semua itu, ada luka yang belum sembuh, ada jeritan yang terus tertahan, dan ada harapan yang pelan-pelan berubah menjadi kepahitan.

Dari lubuk hati yang paling dalam, saya menulis ini bukan karena benci, melainkan karena cinta. Cinta pada tanah kelahiran, cinta pada Limau, cinta pada Tanggamus. Justru karena cinta itulah, saya tidak bisa diam melihat tanah ini seakan dibiarkan berjalan sendiri, tanpa arah, tanpa kepastian, tanpa perhatian yang layak dari pemegang kuasa.

Jalan Rusak, Harapan yang Terkikis

Infrastruktur adalah urat nadi kehidupan. Tapi apa jadinya jika urat itu robek, rusak, dan dibiarkan menganga? Jalan-jalan utama di berbagai kecamatan di Tanggamus rusak parah. Aspal mengelupas, lubang menganga, bahkan ada yang lebih mirip kubangan ketimbang jalan raya. Bertahun-tahun masyarakat menanti perbaikan yang tak kunjung datang. Setiap musim hujan, ancaman keselamatan meningkat. Anak sekolah, petani, pedagang, semuanya menjadi korban dari kebijakan yang setengah hati.

Apakah ini potret dari pembangunan yang disebut “berkeadilan”? Apakah pemerintah tidak melihat atau pura-pura tidak tahu?

Minimnya Rencana, Macetnya Pertumbuhan

Tanggamus seolah berjalan tanpa peta pembangunan yang jelas. Tidak ada arah yang konsisten, tidak ada program yang berkelanjutan. Proyek dimulai, tapi sering tak selesai. Anggaran digelontorkan, tapi hasilnya tak terlihat nyata. Pembangunan seharusnya berpihak pada rakyat, bukan sekadar simbol seremonial atau proyek musiman yang ujungnya hanya menyisakan spanduk dan prasasti.

Sementara daerah lain berlari, Tanggamus masih tertatih. Pertumbuhan ekonomi terhambat, lapangan kerja sempit, generasi muda perlahan meninggalkan kampung halaman demi mencari harapan di tempat lain. Inikah yang kita inginkan?

Pemerintah: Ada, Tapi Tak Hadir

Yang paling menyakitkan adalah ketika rakyat merasa sendiri. Pemerintah hadir secara formal, tapi tidak secara nyata. Kehadiran mereka tak lebih dari formalitas administratif. Aspirasi masyarakat sering hanya berhenti di atas kertas. Musrenbang menjadi ritual tahunan yang sekadar menggugurkan kewajiban, bukan wadah mendengarkan jeritan rakyat.

Kami tidak butuh janji manis. Kami butuh langkah nyata. Tanggamus butuh pemimpin yang melihat dengan mata hati, bukan hanya dengan mata kekuasaan.

Dari Tanggamus, Suara Ini Akan Terus Menggema

Saya sadar, tulisan ini mungkin dianggap pedas, dianggap nyinyir, atau bahkan dianggap sebagai bentuk pembangkangan. Tapi biarlah. Lebih baik dianggap nyaring daripada diam ketika ketidakadilan terjadi. Lebih baik dituduh cerewet daripada bersubahat dalam pembiaran.

Ini bukan tentang oposisi. Ini tentang nurani. Ini tentang tanah yang saya cintai.

Selama jalan masih berlubang, selama pembangunan masih tersendat, selama pemerintah belum benar-benar hadir, suara ini akan terus menggema.

Dari Limau, dari Tanggamus, dari lubuk hati yang paling dalam.(Agung)