5 Kasus Paling Kacau di Desa Tapi Tak Pernah Terungkap: Siapa yang Bertanggung Jawab?

5 Kasus Paling Kacau di Desa Tapi Tak Pernah Terungkap: Siapa yang Bertanggung Jawab?

Citra hukum
Sabtu, 21 Juni 2025


๐Ÿ“ Redaksi Citra Hukum – Edisi Investigasi Ringan

Di balik jargon "membangun dari desa", masih banyak persoalan di tingkat pekon/desa yang terkesan luput dari pantauan publik. Laporan anggaran tampak rapi, laporan kegiatan mengalir lancar, namun kenyataan di lapangan sering kali berbicara sebaliknya.

Berikut ini 5 fenomena "kasus kacau" yang kerap terjadi di desa namun jarang benar-benar dibongkar secara tuntas:

1. BUMDes Mati, Tapi Anggaran Hidup

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) menjadi program unggulan pemerintah pusat untuk mendongkrak ekonomi lokal. Namun ironis, banyak BUMDes yang tidak aktif, bahkan tidak memiliki kegiatan berarti selama bertahun-tahun. Meski begitu, alokasi dana untuk operasional masih terus muncul di APBDes setiap tahun.

Padahal, sesuai Pasal 72 UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, dana desa harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat, bukan untuk entitas fiktif yang tak memberi dampak.

2. Musyawarah Desa, Sekadar Formalitas?

Musyawarah Desa (Musdes) dan Musrenbangdes seharusnya menjadi ruang demokrasi masyarakat desa. Namun dalam beberapa kasus, kegiatan ini hanya menjadi rutinitas administratif. Tidak ada notulen yang jelas, tidak ada dokumentasi yang lengkap, bahkan hasilnya pun tidak pernah diketahui publik.

Pasal 82 UU Desa menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan desa. Tanpa transparansi, musyawarah hanya jadi kedok.

3. Pengadaan Mobil Dinas di Tengah Jalan Rusak

Salah satu fakta miris yang muncul di beberapa desa adalah pengadaan kendaraan dinas yang nilainya belasan hingga puluhan juta rupiah, sementara jalan utama desa tetap rusak parah.

Pengadaan seperti ini menimbulkan pertanyaan besar soal skala prioritas. Apakah kenyamanan pribadi lebih penting daripada pelayanan publik?

4. Proposal Fiktif, Kegiatan Tak Pernah Ada

Dalam beberapa laporan desa, ditemukan pengajuan kegiatan yang ternyata tidak pernah benar-benar dilaksanakan. Warga tidak tahu, tidak pernah diajak, bahkan tidak ada dokumentasi kegiatan. Hanya foto seadanya dan tanda tangan sebagai formalitas.

Hal ini berpotensi melanggar Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain menyalahgunakan kewenangan… dapat dipidana.”

5. Harga Pengadaan Barang Tak Masuk Akal

Kasus pengadaan barang dengan harga yang tidak wajar sering terjadi. Misalnya, satu set bola voli dan net dengan nilai Rp25 juta. Masyarakat pun heran, apakah barangnya yang mahal atau anggarannya yang "digoreng"?

Kondisi ini sering tidak tertangani karena lemahnya pengawasan internal dan minimnya partisipasi warga dalam memantau penggunaan dana desa.

๐Ÿ” Mengapa Ini Harus Ditindaklanjuti?

Setiap rupiah dari dana desa berasal dari uang rakyat. Maka pengelolaannya harus diawasi rakyat. Transparansi bukan hanya keharusan moral, tapi juga kewajiban hukum sebagaimana diatur dalam:

UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP)

Peraturan Menteri Desa No. 21 Tahun 2020 tentang Pedoman Umum Pembangunan Desa

Kode Etik Jurnalistik (Pasal 3): Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, tidak mencampurkan fakta dan opini, dan bersikap profesional.

✍️ Redaksi Citra Hukum

Media Hukum Kritis dan Solutif

๐Ÿ“ฒ Untuk pengaduan atau informasi lanjutan, hubungi:
0822-8214-6869


๐Ÿ”– #CitraHukum #InvestigasiDesa #DanaDesa #BUMDesBermasalah #KawalAnggaranDesa #UUDesa #UUkorupsi #UUkip #KodeEtikJurnalistik