Oleh: Nazir, jurnalist Media Citra Hukum
Dalam negara hukum, konstitusi seharusnya menjadi kompas arah bangsa. Tapi ironisnya, di negeri ini, pasal-pasal hukum seperti hanya jadi teks sakral yang dibacakan saat upacara, namun diabaikan dalam praktik kekuasaan.
Ambil saja Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menjamin hak atas kepastian hukum dan perlakuan yang adil. Faktanya, rakyat kecil masih sering jadi korban ketidakadilan hukum, sementara pelaku pelanggaran dari kalangan “berkekuatan” bisa melenggang bebas. Ada yang dihukum karena mencuri buah untuk makan, tapi ada pula yang korupsi miliaran hanya dihukum ringan atau bahkan bebas karena celah hukum.
Lalu Pasal 28F, soal hak atas informasi. Bukankah ini amanat jelas bagi semua pihak yang menggunakan uang negara untuk terbuka dan transparan? Tapi berapa banyak dari mereka yang dengan sadar menyembunyikan data, membatasi akses publik, atau bahkan mempersulit wartawan dan LSM yang ingin menggali kebenaran?
Satu lagi yang menyakitkan: Pasal 33 ayat (3). Pasal ini sejatinya meletakkan kekayaan alam di tangan rakyat melalui negara, untuk kemakmuran bersama. Tapi kenyataannya, tanah dan air dikeruk, alam rusak, dan rakyat sekitar hanya dapat debu serta janji-janji.
Yang lebih memilukan, pelanggaran-pelanggaran ini tidak selalu dilakukan oleh individu, tapi kadang seolah menjadi bagian dari sistem. Birokrasi yang rumit, proses hukum yang lamban, dan pengawasan yang lemah justru melanggengkan pelanggaran. Ada semacam pembiaran sistemik, yang membuat hukum seolah hanya berlaku bagi yang tak berdaya.
Lalu, siapa yang peduli?
Saat rakyat bersuara, mereka disebut provokator. Ketika jurnalis kritis, mereka dicap merusak citra. Padahal konstitusi sendiri menjamin hak atas kebebasan berpendapat dan bersuara. Haruskah rakyat diam hanya agar penguasa nyaman?
Sebagai insan pers di daerah, saya melihat langsung betapa suara keadilan sering kali kalah oleh kekuatan modal dan kekuasaan. Tapi bukan berarti kita harus menyerah. Justru lewat suara-suara kecil, lewat tulisan-tulisan yang jujur dan berpihak pada kebenaran, kita bisa terus menjadi penjaga nurani bangsa.
Negara ini tidak kekurangan hukum, tapi krisis keteladanan. Pasal-pasal itu tidak akan berarti jika hanya jadi hafalan saat sidang atau kampanye. Ia baru hidup jika dijalankan dengan keberanian, kejujuran, dan kesetaraan.
Dan selama kita masih peduli, hukum tidak akan pernah benar-benar mati.