Oleh: Lukjatul Anjumi
Citrahukum.com | Nasional – Indonesia tengah menghadapi tantangan besar dalam mengelola penerimaan negara di tengah pesatnya perkembangan digitalisasi. Digitalisasi telah menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan—mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga pemerintahan—dan mengubah pola interaksi masyarakat serta sistem ekonomi. Konsekuensinya, pemerintah harus menyesuaikan sistem perpajakan agar tetap relevan dan responsif terhadap perubahan zaman.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pun terus bergerak melakukan modernisasi sistem perpajakan. Namun, munculnya ekonomi digital berbasis platform, transaksi lintas negara, serta layanan tanpa kehadiran fisik, menciptakan tantangan baru yang tidak bisa diselesaikan dengan sistem konvensional.
Di era ekonomi modern, sumber nilai ekonomi bukan lagi semata pada aset fisik, melainkan pada data, kreativitas, dan konektivitas digital. Aktivitas ekonomi kini digerakkan oleh teknologi, melalui platform digital seperti marketplace, fintech, hingga layanan streaming dan aplikasi.
Laporan Google, Temasek, dan Bain & Company bahkan memproyeksikan nilai ekonomi digital Indonesia mencapai USD 109 miliar pada 2025, dan melonjak menjadi USD 360 miliar pada 2030. Angka ini mencerminkan pentingnya peran teknologi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun di balik peluang tersebut, terdapat ironi: banyak pelaku usaha digital, terutama dari luar negeri, menikmati pasar Indonesia namun belum tersentuh kewajiban pajak karena belum adanya bentuk usaha tetap (BUT) atau regulasi yang memadai. Untuk itu, sistem perpajakan nasional harus segera dimodernisasi agar mampu mengejar dinamika ekonomi digital.
Inovasi DJP: Menuju Sistem Perpajakan Digital
Sebagai respon atas tantangan tersebut, DJP meluncurkan berbagai reformasi digital. Salah satunya adalah Coretax Administration System (CTAS) atau Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP). Sistem ini bertujuan mengintegrasikan seluruh proses administrasi perpajakan secara real-time, mulai dari pendaftaran hingga pengawasan.
Selain itu, kanal pelaporan seperti e-Filing, e-Form, dan e-SPT juga telah diperbarui guna memperkuat sistem self-assessment, yakni wajib pajak menghitung dan melaporkan kewajibannya secara mandiri.
Langkah strategis lainnya adalah penerapan PPN atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), yang mewajibkan raksasa digital global seperti Google, Meta, Amazon, dan Netflix menjadi pemungut PPN atas layanan mereka di Indonesia. Hal ini menjadi bukti konkret bahwa transformasi perpajakan digital bukan sekadar wacana.
DJP juga mulai memanfaatkan teknologi seperti big data analytics dan kecerdasan buatan (AI) untuk menganalisis perilaku wajib pajak, mendeteksi anomali transaksi, serta mengembangkan pendekatan pengawasan berbasis risiko. Ini menandai pergeseran dari pengawasan manual menuju sistem pengawasan cerdas berbasis data.
Tantangan yang Masih Membayangi
Meski sudah menunjukkan kemajuan, transformasi pajak digital masih menghadapi berbagai hambatan:
1. Kesenjangan Infrastruktur Digital
Akses internet yang belum merata, terutama di luar Pulau Jawa, membuat sebagian masyarakat kesulitan memanfaatkan layanan pajak digital. Data Kominfo (2023) menyebut lebih dari 12 ribu desa belum memiliki akses internet stabil.
2. Rendahnya Literasi Digital
Banyak pelaku UMKM dan sektor informal belum memahami sistem perpajakan digital. Bahkan, masih banyak yang belum menyadari bahwa aktivitas ekonomi digital juga dikenakan pajak.
3. Meningkatnya Shadow Economy Digital
Transaksi digital tak tercatat seperti penjualan lewat platform tidak resmi, penggunaan aset kripto tanpa pelaporan, hingga jasa digital dari luar negeri tanpa transparansi menjadi tantangan tersendiri dalam pengawasan.
4. Kerangka Regulasi yang Belum Adaptif
Banyak aturan perpajakan masih mengacu pada model bisnis lama berbasis fisik dan lokal, sementara ekonomi digital bersifat virtual, global, dan cair.
Strategi Penguatan Pajak Digital
Menjawab tantangan di atas, dibutuhkan strategi yang tidak hanya canggih secara teknologi, tetapi juga cerdas dalam kebijakan, serta inklusif dari sisi sosial:
Peningkatan Edukasi dan Literasi Pajak Digital
Khususnya bagi UMKM, pekerja kreatif, dan generasi muda. Program seperti Relawan Pajak, Pojok Pajak Digital, hingga integrasi kurikulum pajak di perguruan tinggi dapat menjadi solusi jangka panjang.
Kolaborasi Lintas Instansi dan Sektor
Penguatan sinergi antara DJP, Kominfo, OJK, Bank Indonesia, dan pelaku platform digital penting dilakukan guna menyatukan data, menyinkronkan sistem, serta mempercepat proses pelaporan dan pemungutan pajak.
Reformasi Regulasi Pajak yang Inklusif dan Adaptif
Indonesia perlu aktif dalam mendukung implementasi konsensus global seperti Pilar 1 dan Pilar 2 OECD yang mengatur pemajakan entitas digital lintas negara.
Pemanfaatan Teknologi Lanjutan
Penggunaan AI dan blockchain untuk memperkuat pengawasan, akurasi data, serta efisiensi layanan pajak kepada masyarakat.
Menyongsong Masa Depan Perpajakan Indonesia
Transformasi pajak digital adalah fondasi penting menuju kemandirian fiskal nasional. Di tengah era transaksi lintas batas dalam hitungan detik, negara yang gagal menyesuaikan sistem perpajakannya akan tertinggal, baik secara teknologi maupun pendapatan.
Pemerintah Indonesia sudah berada di jalur yang tepat. Namun, keberhasilan penuh hanya dapat dicapai jika semua pemangku kepentingan—baik birokrasi maupun masyarakat—berjalan bersama. Transformasi digital dalam perpajakan bukan hanya milik DJP, tapi milik seluruh rakyat Indonesia.
Ke depan, mari kita dorong sistem perpajakan yang adaptif, inklusif, dan akuntabel agar benar-benar menjadi pilar utama penerimaan negara dan fondasi menuju Indonesia yang adil, mandiri, dan kompetitif di kancah global.
✅ Editor: Tim Redaksi Citrahukum.com
📌 Konten ini telah disunting agar sesuai dengan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik