Oleh: Surohman S.H
Citrahukum.com| Belakangan ini, jagat media sosial Indonesia kembali gaduh. Isu mengenai dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, kembali mencuat, meski sebelumnya telah dibantah melalui jalur hukum dan fakta resmi dari lembaga negara. Sayangnya, tudingan ini disambut gegap gempita oleh sebagian masyarakat, seolah-olah yang belum terbukti sudah pasti benar.
Bukan hanya tokoh-tokoh yang menyebarkan isu, tetapi juga masyarakat umum yang terseret dalam pusaran opini tanpa verifikasi. Banyak yang ikut berkomentar, menuduh, dan bahkan menghina, tanpa tahu duduk persoalan yang sebenarnya. Fenomena ini memperlihatkan betapa mudahnya seseorang berubah menjadi "hakim dadakan" di era media sosial.
Fenomena ini terjadi di berbagai platform digital: Facebook, X (Twitter), Instagram, TikTok, YouTube, hingga grup-grup WhatsApp. Ruang-ruang digital yang semestinya menjadi tempat berbagi ilmu dan kebaikan justru menjadi ajang penghakiman massal dan adu domba.
Isu ini sesungguhnya sudah lama beredar dan beberapa kali muncul menjelang momen politik. Namun belakangan, isunya kembali diangkat dan diperbesar oleh pihak-pihak yang belum tentu memiliki itikad baik, sehingga memancing kegaduhan publik.
Karena banyak orang tidak memahami bahwa dalam hukum dikenal asas fundamental:
"Actori incumbit probatio" Barang siapa yang mendalilkan, dialah yang wajib membuktikan.
Asas ini tercermin dalam Pasal 163 HIR (Herzien Indonesisch Reglement) yang berbunyi:
"Barang siapa yang mengatakan mempunyai hak atau menyebutkan suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya atau untuk menyangkal hak orang lain, maka ia harus membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut."
Dalam konteks tudingan terhadap seseorang, apalagi tokoh publik seperti mantan presiden, maka pihak yang menuduhlah yang harus membuktikan secara hukum. Tanpa bukti kuat, maka tudingan itu bukan sekadar tak berdasar, tapi juga bisa masuk dalam ranah pencemaran nama baik atau penyebaran berita bohong, sebagaimana diatur dalam:
Pasal 310 KUHP (tentang pencemaran nama baik),
Pasal 27 ayat (3) UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 jo. UU Nomor 19 Tahun 2016, yang menyatakan:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Kita perlu dewasa dalam menyikapi informasi. Demokrasi bukan berarti bebas menghina. Demokrasi menuntut etika, tanggung jawab, dan pemahaman hukum. Boleh mengkritik, tetapi jangan menuduh tanpa dasar. Berpendapat itu hak, tapi bukan untuk menghakimi seenaknya.
Presiden Jokowi, meski sudah tidak menjabat, tetaplah tokoh bangsa yang telah berjasa besar. Beliau memilih diam, bukan karena tak mampu membela diri, tetapi karena memiliki jiwa besar dan sabar. Sayangnya, kesabaran ini justru dimanfaatkan oleh sebagian pihak sebagai kelemahan, dan dijadikan bahan olok-olok oleh mereka yang merasa paling tahu, paling benar, dan merasa paling suci.
Fenomena ini bukan sekadar soal kebebasan berekspresi, tetapi sudah masuk ke wilayah pelanggaran etika, norma, dan hukum. Kita sebagai masyarakat harus belajar membedakan antara kritik dan fitnah, antara berpendapat dan menghina. Media sosial bukan ruang pengadilan. Jangan merasa jadi hakim kalau Anda bukan hakim. Mari jaga negeri ini dari budaya saling tuduh, saling olok, dan saling menjatuhkan.
Cepat sembuh, Indonesiaku.